PSIKOTERAPI
ANALISIS
RESISTENSI, ASSERTIVE TRAINING, DAN
RATIONAL EMOTIVE THERAPY (RET)
Disusun Oleh:
3
PA 11
Kelompok
2
NO.
|
NAMA MAHASISWA
|
NPM
|
1.
|
Elsya Tantri Mayangsari
|
13514531
|
2.
|
Ershinta Nevi Astuti
|
13514644
|
3.
|
Fahri Ferdiansyah
|
13514792
|
4.
|
Fathi Maria Ulfa
|
14514039
|
5.
|
Febriana Denovinsa
|
14514114
|
6.
|
Hani Dwi Apriliani
|
14514746
|
7.
|
Hardiningtyas Dewi W.
|
14514785
|
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
DEPOK
JULI
2017
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i
DAFTAR
ISI ..................................................................................................... ii
I.
ANALISIS
RESISTENSI ........................................................................ 1
A.
Definisi Resistensi.................................................................................. 1
B. Tujuan
Analisis Resistensi ..................................................................... 2
C. Teori
Analisis Resistensi ........................................................................ 2
D. Ciri
Analisis Resistensi .......................................................................... 5
E. Klasifikasi
Analisis Resistensi................................................................ 5
F. Macam-Macam
Resistensi ..................................................................... 6
G. Proses
Interpretasi Resistensi ................................................................ 7
II. ASSERTIVE
TRAINING..........................................................................
7
A. Definisi
Perilaku Asertif......................................................................... 7
B. Definisi
Assertive Training .................................................................... 8
C. Tujuan
Assertive Training.......................................................................
9
D. Tahapan
Pelaksanaan Assertive Training................................................ 10
E. Kelebihan
dan Kekurangan Assertive Training ..................................... 12
III. RATIONAL
EMOTIVE THERAPY.........................................................
13
A. Definisi
Rational Emotive Therapy.......................................................... 13
B. Tujuan
dan Sasaran Rational Emotive Therapy....................................... 14
C. Langkah-Langkah
Rational Emotive Therapy......................................... 14
D. Karakteristik
Proses Konseling Rasional-Emotif .................................... 16
E. Teknik
Konseling Rasional-Emotif ......................................................... 16
F. Efektivitas
Rational Emotive Therapy .................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 20
JENIS – JENIS TERAPI
Berikut adalah beberapa
jenis terapi berdasarkan aliran dari psikoanalisa, behaviorisme, dan kognitif
behavioristik. Banyak jenis terapi yang bisa digunakan berdasarkan
aliran-aliran tersebut. Terapi yang termaksud dalam aliran psikoanalisa salah
satunya adalah analisis resistensi. Assertive training
merupakan salah satu jenis terapi dari aliran
behavior. Sedangkan rational emotive therapy (RET) merupakan salah satu
jenis terapi berdasarkan aliran kognitif
behavioristik. Beberapa terapi tersebut akan dibahas dalam
makalah ini.
I.
ANALISIS
RESISTENSI
A.
Definisi
Resistensi
Resistance
didalam bahasa inggris berasal dari kata resist
dan ance adalah menunjukkan pada
posisi sebuah sikap yang cenderung untuk berperilaku bertahan, menentang,
berusaha melawan, dan upaya oposisi. Dalam kajian psikoterapi, resistensi
merupakan strategi pertahanan klien untuk mencegah analisis atau terapis masuk
dan memahami permasalahan klien.
Resistensi
sebagai suatu konsep fundamental praktek-praktek psikoanalisa yang bekerja
melawan kemajuan terapi dan mencegah klien untuk menampilkan hal-hal yang tidak
disadari. Sigmund Frued memandang resistensi sebagai suatu dinamika yang tidak
disadari yang mendorong seseorang untuk mempertahankan terhadap kecemasan.
Resistensi bukan sesuatu yang harus diatasi karena hal itu merupakan gambaran
pendekatan pertahanan klien dalam kehidupan sehari-hari. Resistensi harus
diakui sebagai alat pertahanan menghadapi kecemasan. Interpretasi konselor
terhadap resistensi ditujukan kepada bantuan klien untuk menyadari alasan
timbulnya resistensi.
Resistensi adalah sesuatu yang melawan
kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari.
Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan
ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu.
Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang
digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa
dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau
perasaan yang direpres tersebut (Corey, 1995).
Dalam proses terapi, resistensi bukanlah
sesuatu yang harus diatasi, karena merupakan perwujudan dari pertahanan klien
yang biasanya dilakukan sehari-hari. Resistensi ini dapat dilihat sebagai
sarana untuk bertahan klien terhadap kecemasan, meski sebenarnya menghambat
kemampuan untuk menghadapi hidup yang lebih memuaskan (Corey, 1995).
Resistensi adalah semua kekuatan dalam
pasien yang menentang prosedur-prosedur dan proses-proses pekerjaan
psikoanalitik. Dalam tingkat tertentu, resistensi itu ada dari awal sampai
akhir perawatan (Freud, 1912). Resistensi mempertahankan status quo neurosis pasien. Resistensi adalah suatu konsep
operasional, bukan sesuatu yang harus diciptakan analisis. Situasi analitik
menjadi arena dimana resistensi-resistensi itu mengungkapkan dirinya.
Resistensi adalah pengulangan semua
operasi defensif yang telah digunakan pasien dalam kehidupan masa lampaunya.
Semua variasi gejala psikis mungkin digunakan untuk tujuan resistensi dan
resistensi itu beroperasi melalui ego pasien. Meskipun beberapa aspek dari
suatu resistensi mungkin sadar, namun suatu bagian yang penting diadakan oleh
ego tak sadar.
B.
Tujuan
Analisis Resistensi
Analisis dan penafsiran
resistensi, ditujukan untuk membantu klien agar menyadari alasan-alasan yang
ada dibalik resistensi sehingga dia bisa menanganinya, terapis meminta klien
menafsirkan resistensi. Tujuannya adalah mencegah material-material mengancam
yang akan memasuki kesadaran klien, dengan cara mencegah klien mengungkapkan
hal - hal yang tidak disadarinya. Pada tingkat paling sederhana, resistensi itu
melibatkan secara sengaja untuk tidak menaati aturan fundamental. Bahkan, jika
tingkat resistensi ini diatasi, resistensi akan menemukan cara - cara ekspresi
yang tidak terlalu terang-terangan. Ego klien takut pada potensi
ketidaksenangan yang disebabkan karena mengeksplorasi materi yang telah
direpresi melalui antikateksisnya dan semakin jauh pula asosiasi klien dari
materi tidak sadar yang ingin ditemukan oleh analisis.
C.
Teori
Analisis Resistensi
Dalam hal ini diuraikan dua hal, yakni
hubungan antara resistensi dan pertahanan serta hubungan antara resistensi dan
regresi.
1. Resistensi
dan Pertahanan
Resistensi
menentang prosedur analitik, analisis, dan ego-rasional pasien. Resistensi
mempertahankan neurosis, hal yang lama, sudah lazim, dan bersifat
kekanak-kanakan supaya tidak diungkapkan dan berubah. Istilah resistensi mengacu
pada semua operasi defensif dari perlengkapan mental ketika mereka dibangkitkan
dalam situasi analitik.
Pertahanan
mengacu pada usaha melindungi diri terhadap bahaya dan rasa sakit serta harus
dibedakan dari aktivitas-aktivitas insting yang mencari kenikmatan dan
pelepasan. Dalam situasi psikoanalitik, pertahanan memanifestasikan dirinya
sebagai resistensi. Freud menggunakan dua istilah tersebut dengan arti yang
sama dalam hampir semua tulisannya. Fungsi dari pertahanan pertama-tama adalah
fungsi ego, meskipun setiap gejala psikis dapat digunakan untuk tujuan-tujuan
defensif.
Pada
dasarnya resistensi beroperasi dalam pasien pada ego tak sadarnya, meskipun
aspek-aspek tertentu dari resistensinya mudah dicapai oleh ego yang mengamati
dan menilai. Kita harus membedakan antara fakta bahwa pasien mengadakan
resistensi, bagaimana ia mengadakan
resistensi, apa yang dicegahnya, dan mengapa ia mengadakan resistensi
(Fenichel, 1941).
Konsep
pertahanan mengandung dua unsur pokok, yakni bahaya dan agen untuk melindungi.
Konsep resistensi terdiri dari tiga agen, yakni bahaya, kekuatan yang memaksa
untuk melindungi ego (irasional), dan kekuatan yang memaksa untuk mengambil
risiko, ego pra-adaptif. Kesamaan lain antara pertahanan dan resistensi ialah
memiliki hierarki. Konsep pertahanan mengacu pada bermacam-macam aktivitas ego
tak sadar, tetapi kita dapat membedakan antara mekanisme-mekanisme pertahanan
dalam, tak sadar, otomatis, dan mekanisme-mekanisme pertahanan yang lebih dekat
dengan ego sadar. Terdapat juga pemahaman mengenai resistensi. Resistensi
meliputi banyak proses, mengenai apakah ia menggunakan proses primer atau
proses sekunder dalam menjalankan fungsinya atau apakah ia berusaha mengatur
pelepasan insting atau netral.
2. Resistensi
dan Regresi
Regresi
adalah konsep deskriptif yang berarti kembali pada suatu bentuk aktivitas
mental lebih awal dan lebih primitif (Freud, 1916). Orang-orang cenderung
kembali ke tempat-tempat berhenti yang telah menjadi tempat-tempat fiksasi pada
masa lebih awal. Fiksasi dan regresi merupakan rangkaian yang saling
melengkapi, meskipun demikian kita harus diperhatikan bahwa fiksasi adalah
suatu konsep perkembangan sedangkan regresi merupakan suatu defensif.
Fiksasi-fiksasi disebabkan oleh disposisi yang dibawa sejak lahir,
faktor-faktor konstitusional, dan pengalaman-pengalaman yang membentuk suatu
rangkaian saling melengkapi. Fiksasi bisa timbul karena (1) adanya harapan yang
tidak bisa hilang bahwa orang pada akhirnya memperoleh kepuasan yang
dirindukan, dan (2) frustrasi menyebabkan dorongan-dorongan tidak bisa
berkembang karena direpresikan.
Regresi
dimotivasikan oleh pelarian dari rasa sakit dan bahaya. Regresi bisa terjadi
berkenaan dengan hubungan-hubungan objek dan organisasi seksual (Freud, 1916).
Regresi mungkin juga dipahami berkenaan dengan topografi, seperti berpindah
dari proses sekunder ke proses primer. Gill (1963) berpendapat bahwa regresi
juga menyangkut regresi structural, yakni suatu regresi dalm fungsi perceptual
ego yang diungkapkan dengan mengubah pikiran-pikiran menjadi gambaran-gambaran
visual. Winnicott (1955) mengemukakan bahwa aspek regresi yang sangat penting
adalah regresi fungsi-fungsi ego dan hubungan-hubungan objek, terutama regresi
kearah narsisisme primer.
Regresi
menempati suatu posisi khusus diantara pertahanan-pertahanan, dan rupanya ada
sedikit keraguan apakah regresi itu benar-benar tergolong dalam pertahanan-pertahanan
(A. Freud, 1936). Akan tetapi, yang tidak dapat diragukan adalah ego
benar-benar menggunakan regresi dalam bermacam-macam bentuk untuk tujuan
pertahanan dan resistensi. Peran dari ego agak berbeda dalam hal regresi. Pada
umumya, kelihatan bahwa ego lebih pasif dibandingkan dengan perannya dalam
operasi-operasi defensif yang lain. Sangat sering terjadi regresi digerakkan
oleh frustrasi instingtual pada tingkat tertentu, yang memaksa
dorongan-dorongan mencari kalan keluar kea rah mundur (Fenichel, 1945).
Sekalipun demikian, dalam kondisi-kondisi tertentu ego memiliki kemampuan untuk
mengatur regresi, seperti dilakukannya pada waktu tidur, kejenakaan, dan dalam
beberapa aktivitas kreatif (Kris, 1950).
Penyebab langsung dari dari resistensi
adalah selalu menghindari suatu afek yang menyakitkan, seperti kecemasan, rasa
bersalah, atau malu. Di balik motif ini akan ditemukan suatu impuls instingtual
yang telah memicu afek yang menyakitkan itu. Pada akhirnya orang akan menemukan
bahwa penyebabnya adalah ketakutan terhadap suatu keadaan traumatik yang coba
dihindari oleh resistensi (A. Freud, 1936).
D.
Ciri
Analisis Resistensi
Ciri terapi psikoanalitik adalah
menganalisis resistensi dengan teliti dan sistematis, sedangkan tugas
psikoanalisis tidak lain adalah mengungkapkan bagaimana pasien menentang, apa
yang ditentang, dan mengapa ia menentang.
E.
Klasifikasi
Analisis Resistensi
Ada banyak cara mengklasifikasikan
resistensi-resistensi. Cara praktis yang sangat penting ialah membedakan
resistensi ego-syntonic dan ego-alien. Apabila seorang pasien merasa
bahwa suatu resistensi asing baginya, maka ia siap mengerjakannya secara analitik.
Bila resistensi itu adalah ego-syntonic,
ia mungkin menyangkal adanya, meremehkan maknanya, atau merasionalisasikannya.
Salah satu langkah awal yang sangat penting dalam menganalisis suatu resistensi
adalah memasukkannya ke dalam resistensi ego-alien
pasien. Segera setelah ini dicapai, pasien akan membentuk suatu aliansi kerja
dengan analis. Ia akan mengidentifikasikan dirinya untuk sementara dan secara
parsial dengan analis karena ia rela mengerjakan resistensi-resistensi itu
secara analitik.
Bentuk-bentuk psikoterapi lain berusaha
menyingkiri atau mengatasi resistensi-resistensi dengan sugesti, menggunakan
obat, atau memanfaatkan hubungan transferensi. Dalam terapi-terapi, yang
disebut covering up atau supportive therapies, terapis berusaha
memperkuat resistensi-resistensi. Ini mungkin perlu bagi pasien-pasien yang
mengalami keadaan psikotik.
F.
Macam-Macam
Resistensi
Freud mengikhtisarkan lima
macam resistensi, yaitu:
1. Resistensi represi
2. Resistensi transferensi
3. Resistensi untuk
melepaskan keuntungan yang didapat dari keadaan sakitnya
4. Resistensi id, yang
mungkin menolak perubahan pada cara pemuasannya dan merasa perlu untuk menelaah
medium pemuasan baru
5. Resistensi yang berasal
dari superego, rasa bersalah atau kebutuhan akan hukuman yang tidak disadari
yang menolak semua kesuksesan melalui analisis. Klien merasa dirinya harus
tetap sakit karena mereka tidak pantas untuk membaik. Resistensi ini merupakan
jenis resistensi yang paling kuat dan paling ditakutkan oleh analisis.
G.
Proses
Interpretasi Resistensi
Proses
interpretasi resistensi dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:
1. Terapis meminta klien
melakukan asosiasi bebas dan analisis mimpi yang dapat menunjukkan kesediaan
klien untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman klien.
2. Selanjutnya analisis
menanyakan bila terjadi hal yang berbeda dengan apa yang di utarakan, misal
klien bercerita dengan penuh semangat namun tiba-tiba sedih.
Sedangkan
penampilan klinis resistensi, yaitu:
1. Pasien berdiam diri
2. Pasien tidak ingin
bicara
3. Afek-afek yang menunjukkan
resistensi
4. Sikap badan pasien
5. Fiksasi pada waktu
6. Masalah sepele atau
peristiwa-peristiwa eksternal
7. Menghindari pokok-pokok
pembicaraan
8. Rigiditas
9. Bahasa penghindaran
10. Datang terlambat, tidak
datang ke jam analitik, lupa membayar
11. Mimpi-mimpi tidak ada
12. Pasien bosan
13. Pasien memiliki suatu
rahasia
14. Memerankan (acting out)
15. Jam analitik yang sering
menggembirakan
16. Pasien tidak berubah
17. Resistensi diam (silent resistances)
II.
ASSERTIVE TRAINING
A. Definisi Perilaku Asertif
Perilaku asertif merupakan terjemahan dari
istilah assertiveness atau assertion, yang artinya titik tengah antara perilaku
non asertif dan perilaku agresif. Frensterhim dan Baer, mengatakan bahwa orang
yang memiliki tingkah laku atau perilaku asertif orang yang berpendapat dari
orientasi dari dalam, memiliki kepercayan diri yang baik, dapat mengungkapkan
pendapat dan ekspresi yang sebenarnya tanpa rasa takut dan berkomunikasi dengan
orang lain secara lancar. Sebaliknya orang yang kurang asertif adalah mereka
yang memiliki ciri terlalu mudah mengalah/ lemah, mudah tersinggung, cemas,
kurang yakin pada diri sendiri, sukar mengadakan komunikasi dengan orang lain,
dan tidak bebas mengemukakan masalah atau hal yang telah dikemukakan.
Nelson dan Jones (2006:184) menjelaskan bahwa
perilaku asertif adalah perilaku yang merefleksikan rasa percaya diri dan
menghormati diri sendiri dan orang lain. Hal ini sejalan dengan pengertian
perilaku asertif yang dikemukakan oleh Alberti dan Emmons, yaitu: Perilaku
asertif meningkatkan kesetaraan dalam hubungan sesama manusia, yang
memungkinkan kita untuk menunjukkan minat terbaik kita, berdiri sendiri tanpa
hatrus merasa cemas, mengeekspresikan perasaan kita dengan jujur dan nyaman,
melatih kepribadian kita yang sesungguhnya tanpa menolak kebenaran dari orang
lain.
B. Definisi Assertive Training
Assertive training
merupakan salah satu teknik dalam terapi behavioral. Menurut Willis (2004:69)
terapi behavioral berasal dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov
dan Skinerian dari B.F Skinner. Mula-mula terapi ini dikemabangkan oleh Wolpe
untuk menanggulangi neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari
perilaku yang tidak adaptif melalui proses belajar. Dengan kata lain perilaku
yang menyimpang bersumber dari hasil belajar di lingkungan.
Willis (2004:72) menjelaskan bahwa assertive training merupakan
teknik dalam konseling behavioral yang menitikberatkan pada kasus yang
mengalami kesulitan dalam perasaan yang tidak sesuai dalam menyatakannya. Assertive
training adalah suatu teknik untuk membantu klien dalam hal-hal berikut:
1. Tidak dapat menyatakan kemarahan atau kejengkelannya.
2. Mereka yang sopan berlebihan dan membiarkan orang lain mengambil
keuntungan padanya.
3. Mereka yang mengalami kesulitan berkata “tidak”.
4. Mereka yang sukar menyatakan cinta dan respon positif lainnya
5. Mereka yang merasakan tidak punya hak untuk menyatakan pendapat dan
pikirannya.
Corey (2009:215) menjelaskan bahwa: assertive training (latihan
asertif) merupakan penerapan latihan tingkah laku dengan sasaran membantu
individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung
dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya adalah mempraktekkan melalui
permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperolah sehingga
individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketakmemadaiannya dan belajar
mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka
disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang
terbuka itu.
Selain itu Gunarsih (2007:217) dalam bukunya Konseling dan Psikoterapi
menjelaskan pengertian latihan asertif menurut Alberti yaitu prosedur latihan
yang diberikan kepada klien untuk melatih perilaku penyesuaian sosial melalui
ekspresi diri dari perasaan, sikap, harapan, pendapat, dan haknya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa assertive
training atau latihan asertif adalah prosedur latihan yang diberikan untuk
membantu peningkatan kemampuan mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan
dan dipikirkan pada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta
perasaan orang lain.
C. Tujuan Assertive Training
Teknik assertive training dalam pelaksanaannya tentu memiliki
beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh konselor dan klien. Day (2008:338)
menjelaskan bahwa tujuan assertive training membantu klien belajar
kemandirian sosial yang diperlukan untuk mengekspresikan diri mereka dengan tepat.
Sedangkan menurut Fauzan (2010) terdapat beberapa tujuan assertive
training yaitu
1. Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara
sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang lain.
2. Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa menentukan
pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku seperti apa yang
diinginkan atau tidak.
3. Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara
sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan hak orang
lain.
4. Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan mengekspresikan
dirinya dengan enak dalam berbagai situasi sosial.
5. Menghindari kesalahpahaman dari pihak lawan komunikasi.
D. Tahapan Pelaksanaan Assertive
Training
Prosedur
dasar dalam pelatihan asertif menyerupai beberapa pendekatan perilaku dalam
konseling. Prosedur-prosedur ini mengutamakan tujuan-tujuan spesifik dan
kehati-hatian, sebagaimana diuraikan Osipow dalam A
Survey of Counseling Methode (1984):
1.
Menentukan kesulitan konseli dalam bersikap asertif dengan
penggalian data terhadap klien, konselor mengerti dimana ketidakasertifan pada
konselinya. Contoh: konseli tidak bisa menolak ajakan temannya untuk bermain
voli setiap minggu pagi padahal ia lebih menyukai berenang, hal itu karena
konseli sungkan, khawatir temannya marah atau sakit hati sehingga ia selalu
menuruti ajakan temannya.
2.
Mengidentifikasi perilaku yang diinginkan oleh klien dan
harapan-harapannya. Diungkapkan perilaku/sikap yang diinginkan
konseli sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi dan harapan-harapan yang
diinginkannya.
3.
Menentukan perilaku akhir yang diperlukan dan yang tidak
diperlukan. Dengan kata lain, konselor dapat menentukan perilaku yang harus
dimiliki konseli untuk menyelesaikan masalahnya dan juga mengenali
perilaku-perilaku yang tidak diperlukan yang menjadi pendukung
ketidakasertifannya. Contoh: Dengan mempelajari secara mendetail kasus yang
dialami konselinya, konselor menarik kesimpulan awal bahwa, konseli tidak perlu
menuruti terus ajakan temannya yang sebenarnya tidak ia sukai. Perilaku yang ia
perlukan adalah menolak dengan jujur, tegas dan sopan ajakan temannya tersebut.
4.
Membantu klien untuk membedakan perilaku yang dibutuhkan dan
yang tidak dibutuhkan dalam rangka menyelesaikan masalahnya. Setelah konselor
menentukan perilaku yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan, kemudian ia
menjelaskannya pada konseli tentang apa yang seharusnya dilakukan dan dihindari dalam rangka
menyelesaikan permasalahannya dan memperkuat penjelasannya.
5.
Mengungkapkan ide-ide yang tidak rasional, sikap-sikap dan
kesalahpahaman yang ada difikiran konseli. Konselor dapat mengungkap
ide-ide konseli yang tidak rasional yang menjadi penyebab masalahnya,
sikap-sikap dan kesalahpahaman yang mendukung timbulnya masalah tersebut.
6.
Menentukan respon-respon asertif/sikap yang diperlukan untuk
menyelesaikan permasalahannya (melalui contoh-contoh).
7.
Mengadakan pelatihan perilaku asertif dan mengulang-ulangnya. Konselor memandu konseli
untuk mempraktikkan perilaku asertif yang diperlukan, menurut contoh yang
diberikan konselor sebelumnya.
8.
Melanjutkan latihan perilaku asertif
9.
Memberikan tugas kepada konseli secara bertahap untuk
melancarkan perilaku asertif yang dimaksud. Untuk kelancaran dan kesuksesan
latihan, konselor memberikan tugas kepada konseli untuk berlatih sendiri di
rumah ataupun di tempat-tempat lainnya.
10. Memberikan penguatan
terhadap tingkah laku yang diinginkan. Penguatan dibutuhkan
untuk meyakinkan bahwa konseli harus dapat bersikap tegas terhadap permintaan
orang lain padanya, sehingga orang lain tidak mengambil mafaat dari kita secara
bebas. Selain itu yang lebih pokok adalah konseli dapat menerapkan apa yang
telah dilatihnya dalam situasi yang nyata.
E.
Kelebihan dan Kekurangan Assertive Training
Kelebihan
pelatihan asertif ini akan tampak pada:
1.
Pelaksanaannya
yang cukup sederhana,
2.
Penerapannya
dikombinasikan dengan beberapa pelatihan seperti relaksasi, ketika individu
lelah dan jenuh dalam berlatiih, kita dapat melakukan relaksasi supaya
menyegarkan individu itu kembali. Pelatihannya juga bisa menerapkan teknik
modeling, misalnya konselor mencontohkan sikap asertif langsung dihadapan
konseli. Selain itu juga dapat dilaksanakan melalui kursi kosong, misalnya
setelah konseli mengangankan tentang apa yang hendak diutarakan, ia langsung
mengutarakannya di depan kursi yang seolah-olah dikursi itu ada orang yang
dimaksud oleh konseli.
3.
Pelatihan
ini dapat mengubah perilaku individu secara langsung melalui perasaan dan
sikapnya.
4.
Disamping
dapat dilaksanakan secara perorangan juga dapat dilaksanakan dalam kelompok.
Melalui latihan-latihan tersebut individu diharapkan mampu menghilangkan
kecemasan-kecemasan yang ada pada dirinya, mampu berfikir relistis terhadap
konsekuensi atas keputusan yang diambilnya serta yang paling penting adalah
menerapkannya dalam kehidupan ataupun situasi yang nyata.
Kelemahan,
pelatihan asertif ini akan tampak pada,
1.
Meskipun
sederhana namun membutuhkan waktu yang tidak sedikit, ini juga tergantung dari
kemampuan individu itu sendiri
2.
Bagi
konselor yang kurang dapat mengkombinasikannya dengan teknik lainnya, pelatihan
asertif ini kurang dapat berjalan dengan baik atau bahkan akan membuat jenuh
dan bosan konseli/peserta, atau juga membutuhkan waktu yang cukup lama.
III.
RATIONAL
EMOTIVE THERAPY
A. Definisi Rational Emotive Therapy
Rational
Emotive Therapy dideskripsikan sebagai
corak konseling yag menekankan kebersamaan dan interaksi antar berpikir dengan
akal sehat (Rational thinking),
berperasaan (emoting), dan berperilaku
(acting), serta menekankan bahwa
suatu perubahan yang mendalam dalam cara berpikir sehingga menghasilkan
perubahan yang berarti dari cara berperasaan dan berperilaku. Jadi, orang yang
mengalami gangguan dalam hal perasaannya harus dibantu untuk meninjau kembali
bagaimana caranya berpikir dan memanfaatkan akal sehat. Penemu corak konseling Rational-Emotive Therapy adalah Abert
Ellise pada tahun 1955, yang telah menerbitkan banyak karangan dan buku. Antara
lain buku yang berjudul Reason and
Emotion in Psychotherapy (1992), A
New Guide To Rational Living (1975), serta karangan yang berjudul The Rational-Emotive Approach To Counseling
dalam buku Burks Theories Of Counseling
(1979).
Menurut pengakuan Albert, corak konseling rational-emotive therapy (RET) berasal dari aliran pendekatan
kognitif behavioristik. Awalnya terapi ini bernama terapi rasional, namun
karena banyak memperoleh anggapan keliru bahwa mengeksplorasi emosi-emosi klien
tidak begitu penting bagi Ellis. Sehingga pada tahun 1961 dia mengubah namanya
menjadi terapi rasional emotif. Ellis menggabungkan terapi humanistik,
filosofis, dan behavioral menjadi terapi rasional emotif (TRE). TRE banyak
kesamaan dengan dengan terapi yang berorientasi pada kognisi, perilaku dan
perbuatan dimana TRE menekankan pada berpikir, memikirkan, mengambil keputusan,
menganalisis dan berbuat. TRE didasarkan pada asumsi bahwa kognisi, emosi, dan
perilaku berinteraksi secara signifikan dan memiliki hubungan sebab akibat
timbal balik.
B. Tujuan dan Sasaran Rational Emotive Therapy
Rational Emotive Therapy mempunyai
tujuan membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak
logis dan untuk belajar gagasan logis sebagai penggantinya. Menunjukkan kepada
klien bahwa verbalisasi diri mereka telah dan masih merupakan sumber utama dari
gangguan emosional yang dialami oleh mereka.
Sasaran dari terapi ini adalah untuk menjadikan klien
menginternalisasi suatu filsafat hidup yang raisonal sebagaimana dia
menginternalisasi keyakinan-keyakinan dogmatis yang irasional dan takhayul yang
berasal dari orang tua maupun kebudayaan.
C. Langkah-Langkah Rational Emotive Therapy
Ada empat langkah dalam rational emotive therapy, yaitu:
1.
Langkah
Pertama
Menunjukkan kepada
klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan
irrasionalnya, menunjukkan bagaimana klien mengembangkan nilai-nilai dan
sikap-sikapnya, dan menunjukkan secara kognitif bahwa klien telah memasukkan
banyak keyakinan irrasional, klien harus belajar memisahkan keyakinan-keyakinan
yang rasional dari keyakinan irrasionalnya dan mencapai kesadaran. Terapis akan
mendorong, membujuk, dan suatu saat memerintah klien agar terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang akan bertindak sebagai agen propaganda.
2.
Langkah
Kedua
Membawa klien ke
seberang tahap kesadaran, dengan menunjukkan bahwa dia sekarang mempertahankan
gangguan-gangguan emosional untuk tetap aktif dengan terus menerus berfikir
tidak logis, kemudian mengakuinya. Untuk melangkah ke pengakuan klien atas
pikiran pikiran irrasionalnya, dibutuhkan langkah selanjutnya.
3.
Langkah
Ketiga
Berusaha agar klien
memperbaiki pikiran-pikirannya dan meninggalkan gagasan-gagasan irrasionalnya,
terapis membantu klien untuk memahami hubungan antara gagasan-gagasan yang
mengalahkan diri dan filsafat yang tidak realistis.
4.
Langkah
Keempat
Menantang klien untuk
mengembangkan filsafat-filsafat hidup yang rasional sehingga dia bisa
menghindari kemungkinan menjadi korban keyakinan irasional.
Sedangkan Ellis (1973) memberikan suatu
gambaran tentang apa yang dilakukan oleh terapis yang melakukan Rational
Emotive Therapy, yaitu:
1.
Mengajak klien untuk
berfikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi
banyak gangguan tingkah laku;
2.
Menantang klien untuk
menguji gagasan-gagasanyya;
3.
Menunjukkan kepada klien
ketidaklogisan pemikirannya;
4.
Menggunakan suatu analisi
logika untuk meminimalkan keyakinan-keyakinan irasional klien;
5.
Menunjukkan bahwa
keyakinan-keyakinan itu tidak ada gunanya dan bagaimana keyakinan akan
mengakibatkan gangguan emosional dan tingkah laku di masa depan.
6.
Menggunakan absurditas dan
humor untuk menghadapi rasionalitas pikiran klien
7.
Menerangkan bagaimana
gagasan-gagasan irasional bisa diganti dengan gagasan-gagasan yang rasional
yang memiliki landasan empiris; dan
8.
Mengajari klien bagaimana
menerapkan pendekatan ilmiah pad acara berfikir sehingga klien bisa mengamati
dan meminimalkan gagasan-gagasan yang irasional dan kesimpulan yang tidak
logis.
D.
Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif
Ada empat karakteristik dalam proses
konseling rasional-emotif, yaitu:
1.
Aktif-direktif
Dalam hubungan konseling
konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan
masalahnya.
2.
Kognitif-eksperiensial
Hubungan yang dibentuk
berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang
rasional.
3.
Emotif-ekspreriensial
Hubungan konseling yang
dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber
gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang
mendasari gangguan tersebut.
4.
Behavioristik
Hubungan konseling yang
dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah
laku klien.
E.
Teknik Konseling Rasional-Emotif
Pendekatan konseling
rasional emotif menggunakan berbagai teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan
behavioral yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud
antara lain adalah sebagai berikut.
1.
Teknik-Teknik Emotif (Afektif)
a.
Assertive adaptive
Teknik yang digunakan
untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus
menyesuaikan dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang
diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
b.
Bermain peran
Teknik untuk
mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan
negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien
dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
c.
Imitasi
Teknik untuk menirukan
secara terus menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi
dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
2.
Teknik-Teknik Behavioristik
a.
Reinforcement
Teknik untuk mendorong
klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan
memberikan pujian verbal (reward)
ataupun hukuman (punishment). Teknik
ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional
pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan
reward ataupun punishment, maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang
diharapkan kepadanya.
b.
Social modeling
Teknik untuk membentuk
tingkah laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien
dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi
(meniru), mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan
norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan
oleh konselor.
3.
Teknik-Teknik Kognitif
a.
Homework assignments,
Teknik yang dilaksanakan
dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan
menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang
diharapkan.
Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat
mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional
dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk
mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan
tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan homework assignment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien
dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor.
Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap
tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan
diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
b.
Latihan assertive
Teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan
tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran,
latihan, atau meniru model-model sosial. Maksud utama teknik latihan asertif
adalah:
1)
Mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang
berhubungan dengan emosinya.
2)
Membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya
sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain.
3)
Mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri.
4)
Meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku
asertif yang cocok untuk diri sendiri.
F. Efektivitas Rational Emotive Therapy
1.
Kelebihan Rational Emotive
Therapy
a. Pendekatan
ini cepat sampai kepada masalah yang dihadapi oleh klien. Dengan demikian,
perawatan juga dapat dilakukan dengan cepat.
b. Berfikir
logis yang diajarkan kepada klien dapat digunakan dalam menghadapi masalah yang
lain.
c. Klien
merasa dirinya mempunyai keupayaan intelektual dan kemajuan dari cara berfikir.
d. Para
konseli bisa memperoleh sejumlah besar pemahaman dan akan menjadi sangat sadar
akan sifat masalahnya.
e. Menekankan
pada peletakan pemahaman yang baru di peroleh ke dalam tindakan yang
memungkinan pada konseli mempraktekkan tingkah laku baru dan membantu mereka
dalam pengkondisian ulang
2.
Kelemahan Rational
Emotive Therapy
a.
Ada klien yang boleh ditolong melalui
analisa logis dan falsafah, tetapi ada pula yang tidak begitu cerdas otaknya
untuk dibantu dengan cara yang sedemikian yang berasaskan kepada logika.
b.
Ada sebagian klien yang begitu terpisah
dari realitas sehingga usaha untuk membawanya ke alam nyata sukar sekali
dicapai.
c.
Ada juga sebagian klien yang memang suka
mengalami gangguan emosi dan bergantung kepadanya dalam hidupnya, dan tidak mau
berbuat apa-apa perubahan lagi dalam hidup mereka
d.
Terapis
yang tidak terlatih memandang terapi sebagai “pencecaran” konseli dengan
persuasi, indoktrinasi logika dan nasehat.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. (1988). Teori dan praktek konseling
dan psikoterapi. Bandung: PT Eresco.
Dwi Riyanti, B. P., Prabowo, H. 1998. Psikologi umum 2. Jakarta: Universitas Gunadarma.
Nelson-Jones, Richard. 2006. Teori dan praktik konseling dan terapi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semiun, Y. 2006. Teori
kepribadian dan terapi psikoanalitik reud. Yogyakarta: Kanisius.
Komentar
Posting Komentar